web stats

Piala Dunia Wanita 2023 dan Hantu Bernama Kesenjangan

Zurich

Piala Dunia Wanita 2023 akan digelar kurang dari tiga minggu lagi. Namun, isu kesenjangan masih ramai menghantui timnas tiap negara.

Piala Dunia Wanita 2023, yang akan digelar di Australia dan Selandia Baru pada 20 Juli-20 Agustus mendatang, menjadi edisi ke-9 yang digelar FIFA, sejak pertama kali digelar pada 1991. Seperti tahun-tahun sebelumnya, isu kesenjangan ramai mencuat dari masing-masing peserta.

Kasus paling baru adalah menolaknya bertanding Timnas Afrika Selatan dalam laga uji coba jelang Piala Dunia Wanita 2023. Banyana Banyana menolak bertanding melawan Botswana, dilaporkan Inside the Games.

Situasi itu membuat Federasi Sepakbola Afrika selatan atau SAFA ‘terpaksa’ memainkan tim cadangan, termasuk menurunkan bocah berusia 13 tahun. Afsel kalah 0-5 dari Botswana di laga itu.

Penyebabnya adalah soal bayaran yang rendah. Pemain menolak bertanding karena merasa tidak dibayar dengan layak.

“Mereka memperjuangkan haknya. SAFA tidak mau menyertakan uang dalam kontraknya. Kami harus berjuang untuk hak para pemain ini,” kata Thulaganyo Gaoshubelwe, Ketua Serikat Pemain Afsel (SAFPU).

Isu kesenjangan menjadi momok tiap Piala Dunia Wanita. Salah satu isu yang kencang disuarakan adalah jomplangnya hadiah turnamen ketimbang Piala Dunia putra.

Pada Maret lalu, ratusan pesepakbola perempuan, diwakili FIFPro, mengirim surat ke FIFA. Isinya mendesak agar disamakan besaran hadiah Piala Dunia putra dan putri.

Sebagai perbandingan, Piala Dunia Perempuan pada 2019 hanya memberikan hadiah total senilai 30 juta USD. Sementara Piala Dunia 2022 tim putra di Qatar bisa mencapai 440 juta USD, dengan Argentina meraih 40 juta USD sebagai juaranya.

Presiden Infantino sendiri berjanji akan menggandakan jumlah hadiah pada edisi 2023, beserta penambahan peserta menjadi 32 tim. Namun tetap saja, jumlah hadiahnya masih tertinggal jauh dari tim putra.

Selain Afrika, beberapa negara juga menghadapi persoalan yang sama. Timnas Kanada, Jamaika, dan Nigeria juga tengah berjuang soal keuangan.

Kanada sempat mengancam mundur dari ajang SheBelieved Februari lalu, sampai Presiden Asosiasi Kanada Nick Bontis mundur. Sementara pemain Jamaika harus ‘patungan’ soal biaya penerbangan dan akomodasi sejak Piala Dunia 2019 dan kini di 2023. Hal serupa juga terjadi di Nigeria, di mana pemainnya tidak dibayar federasi.

Tak cuma tim-tim kecil, timnas sekelas Amerika Serikat dan Inggris juga menghadapi persoalan yang sama. Megan Rapinoe dkk mulai menuntut kesetaraan soal bayaran sejak 2016, dan baru disetujui pada 2022.

Sementara Inggris, laporan terbaru menyebut Timnas Wanita Inggris masih memperjuangkan soal bonus penampilan di Piala Dunia Wanita 2023. Para pemain disebut kecewa karena FA tidak memberikan bonus tambahan, berbeda dengan para pemain putra. Sky Sports menyebut, sponsor kabarnya akan mau memberi subsidi soal bonus.

Isu kesenjangan menjadi masalah yang terus mencuat. FIFA sendiri berjanji akan segera mengentaskannya dan menjadikan sepakbola lebih adil buat semua kalangan ke depannya.

FIFA juga sudah memastikan tiap pemain, klub, dan persiapan tim akan mendapat bayaran yang setara di Piala Dunia Wanita 2023. Total bayaran dari FIFA di Piala Dunia 2023 ini menjadi 152 juta dolar AS, naik tiga kali lipat dari turnamen sebelumnya. Meski begitu, totalnya tetap sepertiga lebih kecil dari bayaran tim putra, yang mencapai 400 juta dolar lebih di Qatar akhir tahun lalu.

FIFA juga memastikan akan mengirim langsung bonus ke pemain, tidak melalui federasi. FIFPro berharap isu kesenjangan soal bayaran sudah selesai sepenuhnya di edisi Piala Dunia 2027, dengan target bayarannya benar-benar sama.

“Dalam edisi turnamen sebelumnya, ada kesenjangan antara apa yang dialami para pemain yang berpartisipasi di Piala Dunia pria dan Piala Dunia Wanita dan cara FIFA mendukung asosiasi anggota yang berpartisipasi. Kesetaraan tidak hanya penting dan pantas, tetapi juga akan memiliki dampak di lapangan dan dampak simbolis jangka panjang pada permainan dan olahraga kita secara lebih luas,” tulis FIFPro.

“Komitmen dari FIFA menuju kesetaraan ini adalah sesuatu yang harus dibangun untuk tahun 2026, 2027 dan seterusnya. Pemain telah membawa olahraga ini ke tempat seperti sekarang. Saat mereka terus mendorong permainan ke depan di lapangan, dialog berkelanjutan antara pemain dan penyelenggara kompetisi, seperti FIFA, sangat penting untuk memajukan permainan secara berkelanjutan. Preseden yang sekarang ditetapkan pada level tertinggi permainan melalui FIFA dan FIFPRO sangat penting untuk ini,” tegas FIFPro.

Simak Video “Patrick Vieira Resmi Ditunjuk Jadi Pelatih Strasbourg

(yna/mrp)

Sumber: https://sport.detik.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top